DITUNGGU DOGOTSapardi Djoko Damono
+ Kita harus tepat waktu. Tidak boleh terlambat, apa lagi terlalu cepat datang. Dogot sama sekali tidak suka orang yang tidak tepat waktu. Harus tepat, setepat-tepatnya.
- Kita harus bergegas kalau begitu.
+ Siapa bilang begitu? Harus tepat waktu! Sudah kubilang, terlalu cepat juga tidak tepat waktu.
- Tapi kan bisa menunggu sampai Dogot muncul kalau kita terlalu cepat sampai. Jadi, kita bergegas saja.
+ Kamu tahu siapa Dogot?
- Peduli amat.
+ Benar juga. Tapi kalau tak tahu, bagaimana kita bisa tahu itu Dogot kalau nanti ketemu?
- Lho, tadi kau bilang kita ditunggu Dogot.
+ Begitu?
- Mungkin.
+ Tapi kan kita ini ditunggu. Jadi, tak peduli kita kenal atau tidak siapa yang menunggu. Yang jelas adalah kita ditunggu Dogot. Siapa itu Dogot, itu bukan urusan kita. Bahkan apa yang menunggu itu Dogot atau apa, itu juga di luar urusan kita. Tapi enaknya Dogot saja yang menunggu kita, ya kan?
- Dari mana kau tahu kita ditunggu?
+ Peduli amat.
- Kalau begitu ditunggu atau tak ditunggu ya sama saja.
+ Begini. Kalau ada yang menunggu, tentu harus ada yang ditunggu. Kita ditunggu, jadi tentu ada yang menunggu. Ya Dogot itu. Pakai akal sehat sajalah, ditunggu itu pasangannya menunggu. Kita sekarang ini ditunggu.
- Dari mana kau tahu?
+ Peduli amat.
- Kalau begitu tidak usah ditunggu sajalah, biar enak.
+ Tidak mungkin. Dunia ini tidak akan ada jika tidak ada tunggu-menunggu. Kau bisa membayangkan dunia yang tidak ada yang menunggu dan tak ada yang ditunggu? Apa yang kau kerjakan, coba? Begitu saja kok susah.
- Kau saudaranya Dogot, ya?
+ Tai kucing!
- Jangan marah. Ditunggu kok malah marah. Yang menunggu boleh marah, begitu logikanya, kan? Dogot itu saudaramu, ya?
+ Sontoloyo, lu!
- Bapakmu?
+ Jangan begitu.
- Jangan-jangan Dogot itu saudara tirimu. Ya, nggak? Jangan kura-kura dalam perahu. Ya, nggak. Saudara tirimu, kan?
+ Tai kucing!
- Punya saudara tiri saja kok malu. Lihat itu, ada pesawat terbang lewat.
+ Apa urusannya?
- Katanya ditunggu. Pesawat terbang penting, dong. Kan ditunggu.
+ Maksudmu menunggu pakai pesawat terbang?
- Pakai akal sehat sajalah. Pesawat terbang itu urusan yang ditunggu, bukan yang menunggu.
+ Ini bukan urusan cepat-cepatan, ini urusan tepat waktu. Harus tepat.
- Kalau begitu kau saja yang ditunggu, aku tidak.
+ Tidak bisa. Kita berdua ditunggu, bukannya aku ditunggu dan kau tidak ditunggu.
- Lho, kok tidak boleh memilih?
+ Memilih apa?
- Ya memilih tidak ditunggu. Kalau pakai akal sehat kan boleh memilih. Kau memilih ditunggu, aku memilih tidak ditunggu. Masalahnya jadi beres, kan?
+ Kita ditunggu, bukan aku saja. Kau juga. Akal sehat berbunyi: jika ada yang menunggu harus ada yang ditunggu. Kau dan aku ditunggu, mau tidak mau. Itu baru akal sehat namanya.
- Ya, sudah.
+ Waktu kereta mendesis meninggalkan stasiun, dan orang- orang melambaikan tangan tanda perpisahan, tukang peluit di peron itu melambaikan tangan padaku sambil berteriak, "Ingat, kau ditunggu!" Aku lihat kiri-kanan, jangan-jangan bukan aku yang dimaksudkannya, tetapi seorang ibu tua di sampingku bilang tukang peluit itu melambaikan tangan padaku. "Masih saudara, ya?" tanya ibu tua itu. la tidak memperhatikan gelengan kepalaku. Sampai stasiun tak tampak lagi, tukang peluit itu masih melambaikan tangannya dan seperti kudengar suaranya, "Ingat, kau ditunggu!"
- Jadi, ia saudaramu ya?"
+ Waktu di bandara tempo hari, petugas tiket itu membisikkan sesuatu padaku, "Saudara ditunggu, jangan lupa." Aku tak sempat menanyakan hal itu sebab calon penumpang yang antre di belakangku tampaknya tergesa-gesa, dan aku didesaknya.
- la saudaramu, ya?
+ Waktu nyopir mobil lewat jalan macet yang sedang diperbaiki, seorang tukang gali tersenyum padaku dan berkata, "Ingat ya, Saudara ditunggu." Aku pengin berhenti menanyakan hal itu tetapi mobil-mobil yang bererot di belakangku langsung tekan klakson.
- la saudaramu, ya?
+ He, kamu pernah ditabokin orang?
- Nggak.
+ Pernah dibedil Jepang?
- Nggak, belum lahir.
+ Pernah diklocop kepalamu, ya?
- Jangan begitu, dong.
+ Pernah dikilik-kilik, ya?
- Jangan sadis, dong.
+ Habis, kenapa tanya-tanya apa mereka semua itu saudaraku?
- Malu ya, punya saudara jadi tukang tiup peluit?
+ Kuingat benar, katanya aku ditunggu.
- Malu ya, punya saudara jadi tukang tiket?
+ Aku yakin, ia bilang aku ditunggu.
- Malu ya. punya saudara jadi tukang gali jalanan?
+ la telah menyampaikan kebenaran, aku ditunggu.
- Ya, sudah sana. Cepat, nanti terlambat.
+ Tidak paham-paham juga kau. Kalau aku ditunggu, kau juga ditunggu. Harus. Tidak bisa hanya ada aku. Aku hanya ada kalau kau ada, kan? Dan kita ada karena ada yang menunggu - itu akal sehat.
- Kamu kenal Plato?
+ Tanya itu lagi!
- Kenal Konghucu?
+ Itu lagi!
- Kau kenal Gandhi?
+ Diulang-ulang lagi!
- Begini, kalau tidak kenal mereka kok bisa jadi pintar begitu?
+ Ditunggu ya ditunggu, tidak ada urusan sama pintar atau bodoh. Seandainya aku pintar dan kau bodoh, ya kita sama saja, sekarang ini ditunggu. Seandainya aku bodoh dan kau pintar - tapi itu tidak mungkin.
- Meskipun tidak mungkin kita kan ditunggu juga. Itu, kan, yang mau kau bilang?
+ Begitu, baru pintar namanya.
+ Masalahnya adalah posisi kita sekarang ini di mana. Kita harus bisa tepat waktu kalau tahu posisi Dogot juga, kan?
- Dan posisi Dogot baru bisa kita ketahui kalau kita tahu posisi kita di mana. Begitu, kan?
+ Kau memang pintar ternyata. Tapi kenapa kita ditunggu?
- Nah, sekarang kau yang mulai bodoh. Jawabannya kan jelas: karena ada yang menunggu. Titik. Masalahku lain, bukan kenapa kita ditunggu tetapi Dogot itu siapa.
+ Lho, kau jadi bodoh lagi.
- Nanti dulu. Apa kau bisa menggambarkan Dogot itu kepalanya botak atau tidak, dahinya monyong atau tidak, perutnya buncit atau tidak, kakinya pengkor atau tidak, mulutnya dower atau tidak. Kau harus bisa menggambarkannya agar nanti kalau ketemu aku bisa kasih salam, "Halo, Dogot. Apa kabar? Maaf kami tidak bisa tepat waktu. Habis, tadi bertengkar melulu. Jangan marah, ya, kita kan belum terlambat."
+ Stop, kita tidak akan bisa ketemu Dogot kalau tidak tepat waktu. Jangan ngawur, dong.
- Begitu?
+ Lha ya. Dan lagi tadi kau tanyakan dahinya macam apa mulutnya macam apa. Apa Dogot kau bayangkan sama dengan kita, punya mulut, perut, dan sebagainya?
- Kalau tidak punya mulut dan perut, bagaimana bisa makan?
+ He, tukang makan, jangan menyamakan Dogot dengan dirimu sendiri. Tidak tahu ya tidak tahu, tidak kenal ya tidak kenal. Tidak usah membayangkan yang bukan-bukan.
- Akal sehat sajalah. Kalau tidak makan ya tidak hidup.
+ Tidak ada hubungannya dengan makan atau hidup atau apa saja. Pokoknya kita harus tepat waktu. Mau makan, mau hidup terserah.
- Kan sejak tadi kita bicara tentang Dogot yang katamu menunggu kita, kenapa kau jadi begini dan begitu? Bagaimana Dogot bisa menunggu kalau tidak punya perut, mulut, dan
sebagainya?
+ Tugas kita ditunggu, tugas Dogot menunggu. Itu saja. Perut itu kan urusanmu.
- Apa urusanmu cuma otak, tak pakai perut? Apa Dogot, saudaramu itu, tak punya perut tapi punya otak? Begitu? Kau saudaranya, kan? Seperti halnya tukang tiup peluit, tukang jual tiket, dan tukang gali selokan. Dogot itu saudaramu, kan? Kalau bukan kenapa kau tutup-tutupi...
+ Sekali lagi bilang ia saudaraku, kuhabisi kau.
- Kalau aku kau habisi, ya alhamdulilah. Aku nggak usah ditunggu Dogot.
+ Sapa bilang begitu?
- Lho, malah bertanya. Lihat itu matahari sudah sepenggalah. Kita harus cepat-cepat supaya tidak ditinggal Dogot.
+ Ini bukan urusan ditinggal. Ini urusan ditunggu. Kalau bisa ditinggal, itu gampang masalahnya.
- Aku maunya ditinggal saja, nanti pergi sendiri saja. Tidak pakai ditunggu.
+ Pergi sendiri ke mana? Kita ini ditunggu, tidak bisa mau ke mana seenak perut.
+Waktu aku menuruni bukit untuk menemuimu dari lembah juga kudengar suara, "Jangan lupa, kalian ditunggu!" Itu tandanya kau juga ditunggu, tidak hanya aku.
- Tapi kenapa hanya kita berdua?
+ Kok 'hanya’. Kau dan aku ini tidak sekedar 'hanya’.
- Kok tidak salah satu saja yang ditunggu?
+ Kalau salah satu saja nanti tidak ada yang mengingatkan bahwa ada yang sedang menunggu. Itu merepotkan.
- Merepotkan?
+ Ya, merepotkan yang sedang menunggu. Harus ada yang merasa ditunggu agar Dogot tidak repot. Menunggu orang yang tidak merasa ditunggu itu tentu saja bikin repot. Untuk apa pula Dogot menunggu kalau kita tidak merasa ditunggu?
- Apa tidak punya kerjaan lain kecuali menunggu? Aku tak paham, kenapa repot-repot menunggu dan kenapa lebih menjadi repot lagi kalau tidak ada yang merasa ditunggu.
+ Dogot itu ada kalau menunggu, repot atau tidak repot apa pasalnya? Paham?
- Kalau tidak usah menunggu saja, bagaimana?
+ Kalau tidak menunggu ya Dogot tidak ada, padahal Dogot harus ada. Harus.
- Kenapa harus?
+ Karena kita ditunggu.
- Kenapa ditunggu?
+ Ya, karena ada yang menunggu.
- Kau ini tak pernah baca buku kok pintar.
+ Ingat, di dunia ini semua berpasangan: langit-bumi, kiri-kanan, atas-bawah, jauh-dekat, surga-neraka...
- Menunggu-ditunggu!
+ Tepat. Kau mulai paham.
- Kalau yang ditunggu ketemu yang menunggu?
+ Tidak boleh, dan tidak mungkin. Mana ada langit ketemu bumi? Kalau ketemu namanya bukan langit dan bumi lagi, tidak berpasangan lagi. Kau pikir bisa membayangkan jauh dan dekat bertemu? Bisa kau bayangkan siang dan malam bertemu? Bisa kau bayangkan laki dan perempuan bertemu?
- Kau dan aku.
+ Ya, harus berpasangan supaya ada.
- Kalau nanri kita ketemu Dogot?
+ Siapa bilang kita akan ketemu Dogot?
- Kau bilang kita ditunggu!
+ Ya, supaya ada sepasang ditunggu-menunggu.
- Sudan sajalah. Capek juga ditunggu.
+ Ditunggu kok capek. Yang nunggu saja tidak capek.
- Kok tahu?
+ Ini bukan pasal tahu atau tak tahu. Dogot menunggu dan kita ditunggu. Dan yang ditunggu tidak berhak capek, itu saja.
- Tapi apa ada yang bilang, "Aku capek ditunggu." Orang bilang, "Aku capek menunggu." Ya, kan? Akal sehat.
+ Kau pintar lagi, yang ditunggu tidak ada yang bilang capek, kan?
- Akal sehat?
+ Pasal capek atau tidak capek tidak usah dikait-kaitkan dengan sehat atau tidaknya akal. Bahkan dengan akal pun tidak ada kaitannya. Kau memang suka mengait-ngaitkan yang bukan-bukan.
- Begini, kalau ditunggu tidak berhak capek, menunggu juga tidak berhak, dong.
+ Ya terserah yang menunggu saja. Mau capek, mau kagak!
- Lho katanya tadi nggak ada yang boleh capek. Gimana sih?
+ Gimana gimana?
- Itu Iho, yang menunggu. Dia boleh capek, begitu?
+ Terserah. Hanya saja ingat, kita tidak boleh capek hanya karena ditunggu, itu wajib hukumnya.
- Kita ini boleh mikir cara apa?
+ Ditunggu kok mikir.
+ Kita harus tepat waktu. Tidak boleh terlambat, apa lagi terlalu cepat datang. Dan Dogot menunggu, kita wajib ditunggu.
(Oktober 2002)
"Tránh đừng động vào cây, mùa lá rụng!"
Nhắc suốt đường cũng chỉ bấy nhiêu thôi.
(Olga F. Berggoltz)